Daily Archives: Maret 6, 2012

5 UCAPAN AYUB YANG TERKENAL

Alkitab memang menyebutkan tentang janji-janji berkat bagi orang percaya. Sebagai wujud kasih Tuhan kepada anak-anak-Nya, bukan hanya keselamatan tetapi juga berkat materi, kesehatan dan kesuksesan diberikan-Nya. Namun, berbicara hanya mengenai berkat-berkat ini dapat membuat kita menjadi orang Kristen yang tidak seimbang. Berkat hanya merupakan salah satu sisi dari sebuah mata koin. Di sisi yang lain Alkitab juga berbicara mengenai penderitaan sebagai konsekuensi dosa Adam yang harus dipikul seluruh umat manusia.

Satu pribadi yang terkenal mengalami dua sisi mata koin ini secara ekstrim adalah Ayub. Selain diberkati secara luar biasa, Ayub juga mengalami penderitaan yang luar biasa. Ia adalah seorang yang saleh waktu Tuhan memberkatinya, ia tabah waktu dalam pencobaan dan Ia rendah hati waktu Tuhan memulihkannya.

Kita harus belajar banyak dari kehidupan Ayub, mengingat kitapun tidak luput dari cobaan dan penderitaan. Ada lima perkataan Ayub yang sangat terkenal selama hidupnya yang dicatat dalam Alkitab yang dapat menjadi pelajaran bagi kita juga.

1. Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati (1:5b).

Dengan seluruh kekuatan dan kemampuannya, Ayub ingin menyenangkan Tuhan dan hidup benar dihadapan-Nya. Ia bukan hanya menjauhi dosa tapi mengantisipasi dosa. Dalam hatinya ia percaya bahwa berkat yang ia terima saat itu berhubungan langsung dengan kesalehannya. Dengan kata lain ia juga percaya bahwa dosa dapat memisahkannya dari berkat Tuhan ini.

Ada orang-orang yang ‘sangat rohani’ yang menganggap karena banyaknya kesalehan dan ibadah mereka maka Tuhan menjadikan mereka kaya dan sukses. Ayub hampir jatuh pada ‘kesombongan rohani’ ini kalau saja ia tidak belajar mengenal Tuhan lewat masa-masa ujian yang sangat berat.

Sementara itu ada juga orang-orang yang ‘menghakimi’ baik diri mereka sendiri maupun orang lain. Mereka menganggap penderitaan adalah bentuk hukuman Tuhan atas dosa dan pelanggaran manusia. Ketiga sahabat Ayub Elifas, Zofar dan Bildad jatuh pada kategori ini sehingga membangkitakan murka Tuhan kepada mereka. Tuhan tidak mengijinkan diri-Nya dinilai oleh manusia karena Dia adalah sang Pencipta sedangkan manusia adalah ciptaan-Nya.

2. Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya (1:21a).

Biasanya pada saat mendengar tragedi yang luar biasa, seseorang akan mengalami goncangan yang hebat. Mendengar kabar bahwa anak-anaknya pun tewas dalam musibah ini, Ayub menyadari bahwa hidupnya adalah anugerah semata-mata. Ia tidak bisa melandaskan iman terhadap hal-hal yang duniawi dan sementara. Apapun yang ia capai dan kumpulkan selama bertahun-tahun dapat hilang dalam sekejap. Goncangan ini yang menguji fondasi iman yang dibangun Ayub selama itu. Goncangan ini seperti badai yang menerpa suatu pohon yang akan membuktikan apakah akarnya cukup kuat untuk bertahan.

Setelah itu ada suatu loncatan iman yang luar biasa dalan diri Ayub. Ia tidak lagi menganggap Tuhan sebagai objek tapi sebaliknya Tuhan adalah subjek. Tuhan bukanlah objek yang bisa digerakkan dengan perbuatan atau pelayanannya. Ada pengertian yang tersingkap bahwa Tuhan berhak melakukan apapun yang dikehedakinya dan dalam segala hal Tuhan selalu benar.

3. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah Tuhan (1:21b).

Adalah mudah memuji Tuhan waktu kehidupan kita enak, sehat dan diberkati. Tapi sulit untuk tetap mempertahankan sikap itu bila tragedi kehidupan melanda. Hanya orang yang mengerti sumber kehidupannyalah yang bisa memiliki penyerahan yang sesungguhnya. Menyerahkan hak kita kepada Tuhan berarti mengakui kedaulatan-Nya.

Banyak hal yang tidak tersedia jawabannya bagi kita. Entah Tuhan menyimpan misteri ini untuk disingkapkan di masa yang akan datang atau memang sama sekali Ia tidak menyediakan jawabannya. Memaksa otak kita yang terbatas untuk mengerti seluruh rencana Tuhan sering membuat iman kita kandas. Sebaliknya dengan memuji Tuhan apapun yang kita hadapi akan menguatkan iman kita.

4. Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah tetapi tidak mau menerima yang tidak baik? (2:10b).

Kita sering bertanya “Mengapa saya?” waktu penderitaan datang. Kita mencoba mempertanyakan Tuhan mengapa hal itu menimpa kita bukan orang lain. Padahal banyak orang yang hidupnya lebih buruk dari kita meskipun mereka lebih saleh hidupnya. Hanya saja sangat sedikit orang yang mau sebaliknya bertanya “Mengapa saya?” waktu mereka diberkati dan diberi kesehatan oleh Tuhan.

Waktu musibah pertama menimpa Ayub dan semua harta bendanya habis, Ayub mencoba untuk mengerti. Ketika seluruh anaknya pun tertimpa bencana, Ayub mencoba untuk bertahan. Pada saat, ia sendiri ditimpa penyakit kulit yang menjijikan, Ia berusaha untuk tidak kehilangan pengharapan. Tapi, pada saat istrinya menyuruhnya mengutuki Tuhan, Ayub angkat bicara. Tragedi yang datang bertubi-tubi bukan hanya membuat imannya semakin kuat tapi juga menimbulkan rasa hormat yang luar biasa akan keberadaan Tuhan.

5. Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau (42:5)

Waktu hidup Ayub diberkati ia menyembah Tuhan tapi peyembahannya didasarkan pada pengenalan akan Tuhan yang pernah didengarnya. Ia tentu telah mendengar perbuatan Tuhan dari orang tua atau leluhurnya. Ia juga mungkin telah mendengar cerita mengenai kebesaran Tuhan lewat teman-temannya. Ia mencoba untuk hidup benar dan menyembah Tuhan yang hanya didengarnya ini.

Namun penderitaan telah membawanya pada dimensi pengenalan Tuhan yang baru. Waktu melewati masa kensengsaraan yang hebat akhirnya mata Ayub sanggup melihat Tuhan. Ternyata penderitaan membuatnya lebih dekat kepada Tuhan. Berkat membuatnya menyembah Tuhan dari kejauhan sedangkan penderitaan membuatnya mengenal Tuhan Dia secara pribadi.

Ditulis oleh : Nancy Dinar, seorang pendidik, konselor dan penulis buku.

KISAH SEEKOR CICAK dan PETANI

Alkisah, suatu hari di tepian parit sebuah desa, tampak seekor cicak kecil berusaha berlari menghidari sergapan ular yang sedang kelaparan. Malang, ular pun berhasil menangkap ekor cicak. Dengan kekuatan seadanya, cicak berupaya dan terus berjuang untuk meloloskan diri dari ular itu.

Demi menyelamatkan nyawanya, cicak menggunakan upaya terakhir dengan memutuskan ekornya dan segera melarikan diri dengan berlari sekuat tenaganya.

Kebetulan kejadian itu dilihat oleh seorang petani. Karena merasa kasihan, berkatalah si petani kepada si cicak. “Hai cicak kecil, sungguh beruntung kamu bisa menyelamatkan diri dari santapan si ular. Namun sayang sekali ekormu harus terputus. Apakah kamu merasa sangat kesakitan?” tanya petani.

Cicak mengangguk. Si petani tersentuh hatinya dan menawarkan bantuannya kepada cicak itu. “Kemarilah cicak, aku akan membantu membalut lukamu. Aku punya obat luka yang mujarab untuk menyembuhkan lukamu.”

“Terima kasih, Pak Petani. Kami kaum cicak, biarpun kecil dan lemah tetapi telah dibekali oleh Tuhan kemampuan menyelamatkan diri dari bahaya dengan memutuskan ekor di saat yang genting. Walaupun kami merasakan kesakitan saat melakukan itu, tetapi secara alami, alam akan membantu menyembuhkan dan menumbuhkan ekor seperti semula,” jawab cicak lembut.

“Aku sendiri sangat bersyukur atas rasa sakit ini. Itu menyadarkan kepadaku bahwa aku harus lebih menghargai kehidupan ini dengan berjuang dan mensyukuri setiap hari yang masih tersisa untukku. Sekali lagi terima kasih dan sampai jumpa pak Tani,” si cicak merangkak menjauh sambil memikul rasa sakit yang sangat.

Pergumulan hidup sering membuat kita merasa sakit. Namun hal itu tidak akan melebihi kekuatan kita, karena Tuhan akan selalu menyertai dan memberi kita kekuatan. Jadikanlah setiap masalah sebagai pembelajaran agar kita bisa lebih maju lagi.

JATUHNYA SI MONYET SOMBONG

Alkisah, di tepi sebuah hutan, ada sekawanan monyet melihat pasukan berkuda melintas di depan mereka. Menyaksikan kegagahan para prajurit berkendara di atas pelana kuda, seekor monyet pun menyombongkan diri bahwa menunggang kuda itu masalah mudah!

Untuk membuktikan perkataannya, saat pasukan berkuda istirahat, si monyet mengendap-endap mendekati seekor kuda di sana. Hup! Dengan lincah, si monyet naik ke atas punggung kuda.

Kuda yang merasakan hentakan berat di atas punggungnya, terkejut. Ia juga merasa kesakitan karena tarikan erat pada surainya. Maka, ia pun segera meringkik, berlari kencang, sambil menggoyangkan liar badannya ke kiri dan ke kanan. Monyet yang tidak bisa mempertahankan keseimbangan badannya, terpelanting dan jatuh ke tanah dengan keras.

Hewan-hewan lain di hutan, ramai menertawakan kebodohan si monyet. Monyet pun tertunduk malu sambil menahan rasa sakit yang menjalari tubuhnya. Ternyata menunggang kuda tidak semudah yang ia kira!

Katanya, “Kapok deh. Cukup sekali saja aku menunggang kuda! Ternyata tidak sehebat dan seenak yang aku bayangkan. Memang sudah menjadi nasibku, aku tidak akan menunggang kuda lagi seumur hidupku. Aku tidak mau mengulangi lagi kesalahan yang sama.”

Saat itu, monyet yang tertua di kelompoknya menjawab, “Jatuh memang menyakitkan, tetapi bukan berarti di kemudian hari kamu tidak akan jatuh lagi, entah dari pohon dan darimana pun. Yang perlu ketahui dan dipelajari adalah mengapa kamu jatuh? Jika kita mau belajar untuk tahu kenapa bisa jatuh, maka kita tidak perlu mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari.”

Dari cerita ini kita dapat belajar bahwa kesombongan mendahului sebuah kehancuran, karena itu Tuhan sangat membenci orang yang congkak. Hargailah sebuah proses dan jadikanlah pengalaman sebagai guru yang terbaik, selain itu libatkanlah Tuhan dalam segala tindakan Anda agar Anda tidak salah langkah.

Sumber : andriwongso.com/Jawaban.com